Sejak zaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa disamping melalui organisasi politik, perjuangan ke arah kemerdekaan perlu dilakukan melalui jalur pendidikan.Mengingat bahwa sistem pendidikan pemerintah kolonial pada masa itu tidak demokratis karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada kepentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang sudah ada perlu dibina dan dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat secara lebih luas. Disamping mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat tradisional yang pada umumnya berorientasi keagamaan, maka pada masa itu muncul seorang tokoh muda Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ia bersama rekan-rekannya mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah itu ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
A. Riwayat Hidup
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Akibat karangannya yang menghina itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
B. Peletak Dasar Pendidikan Nasional
Presiden Soekarno dalam kata sambutannya (Jakarta, 20 januari 1962), dalam buku karya Ki Hadjar Dewantara : bagian pertama pendidikan, menegaskan kita kenal Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh nasional, tokoh kemerdekaan, dan tokoh pendidikan nasional, yang dengan keuletan dan ketabahan hati berjuang terus, “ sepi ing pamrih rame ing gawe”… Karangan-karangan beliau adalah sangat luas dan mendalam, yang tidak saja dapat membangkitkan semangat perjuangan nasional sewaktu jaman penjajahan, tetapi juga meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Mentri pendidikan, pengetahuan dan kebudayaan, Prijono, Dalam kata sambutannya (Jakarta, 1 Juli 1961) dalam buku karya Ki Hadjar Dewantara : bagian pertama pendidikan, menegaskan Ki Hadjar Dewantara adalah seorang patriot paripurna yang perkataan-perkataannya, sikap hidupnya, tindak-tanduknya, kesetiaan terhadap nusa dan bangsanya tidak pernah bertentangan satu sama lain.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memejukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya. Karena itulah pasal-pasal dibawah ini harus kita pentingkan:
1. Segala syarat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan.
2. Kodratnya keadaan tadi ada tersimpan dalam adat istiadat masing-masing masyarakat, yang merupakan kesatuan dengan sifat peri kehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari campuran daya upaya untuk mendapat hidup tertib-damai.
3. Adat istiadat, sebagai sifat daya upaya akan tertib-damai itu,tiada terluput dari pengaruh “jaman” dan “alam”; karena itu tidak tetap, tetapi senantiasa berubah, bentuk, isi, dan iramanya.
4. Akan mengetahui garis hidup yang tetap dari suatu bangsa, perlulah kita mengetahui jaman yang telah lalu, mengetahui menjelmanya jaman yang berlaku ini, lalu dapat insyaflah kita akan jaman yang akan datang.
5. Pengaruh baru adalah tejadi dari bergaulnya bangsa yang satu dengan yang lain, pergaulan mana pada sekarang mudah sekali, terbawa dari adanya perubahan modern.
Ki Hadjar Dewantara menyatakan pula, bahwa pendidikan nasional ialah pendidikan yang berdasarkan garis hidup bangsanya (cultureel-national) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan ( maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajad negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia diseluruh dunia.
1. Pendidikan budipekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin, tidak saja syarat-syarat yang sudah ada dan ternyata baik, melinkan juga syarat-syarat baru yang berfaedah dan sesuai dengan maksud dan tujuan kita.
2. Teristimewa haruslah kita memperhatikan pangkal kehidupan kita yang terus hidup dalam kesenian, peadaban,syarat-syarat agama,atau terdapat dalam kitab-kitab ciritera(dongeng, mythen, legenden, babad dan lain-lain). Semua itu adalah “arsip nasional”, yang mana tersimpan kekayaan batin dari bangsa kita(geestelijke warden). Dengan mengetahui segala hal itu niscayalah langkah kita untuk menuju pada jaman baru akan berhasil tetap dan kekal, karena karena jaman baru kita jodohkan sebagai “ mempelai” dengan jaman yang lalu.
3. Berhubung apa yang tersebut di atas perlulah anak-anak kita dekatkan hidupnya dengan perikehidupan rakyat, agar mereka tidak hanya memiliki “pengetahuan” saja tentang hidup rakyatnya, akan tetapi juga dapat “mengalaminya” sendiri, dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyatnya.
4. Karena itu seyogyanyalah kita mengutamakan cara”pondok-system”, berdasarkan hidup kekeluargaan, untuk mempersatukan pengajaran pengetahuan dengan pengajaran budi pekerti, system mana dalam sejarah kebudayaan bangsa kita bukan barang aing. Dahulu bernama “asrama”, kemudian di jaman islam menjelma jadi “pondok pesantren”.
5. Pengajaran (onderwijs)ialah suatu bagian dari pendidikan. Pengajaran itu tidak lain ialah pendidikan dengan member ilmu atau pengetahuan, serta juga member kecakapan kepada anak-anak, yang kedua-duanya dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Pengajaran pengetahuan adalah sebagian dari pendidikan yang terutama dipergunakan untuk mendidik pikiran; dan ini perlu sekali, tidak saja untuk memajukan kecerdasan batin, namun pula untuk melancarkan hidup pada umumnya. Seyogyanya pendidikan pikiran ini dibangun setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, agar anak-anak kelak dapat membangun perikehidupan lahir dan batin dengan sebaik-baiknya.
6. Pendidikan (opvoeding) pada umumnya, yaitu tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu :menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
7. Pertama kali haruslah kita ingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu “tuntunan” didalam hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak diluar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagi manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidum dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.
8. Perlunya menguasai diri dalam pendidikan budi pekerti. Yang dinamakan “budipekerti” atau “watak” atau “karakter” yaitu bulatnya jiwa manusia. Budipekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “budi” itu berarti “fikiran-perasaan – kemauan”, “pekerti” itu artinya “tenaga”. Jadi “budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya “budi-pekerti” itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beadab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.
9. Dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan itu sifatnya tiga macam : berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri. Bukan hanya tidak terperintah saja, akan tetapi harus juga dapat mnegakkan dirinya dan mengatur perikehidupannya dengan tertib. Dalam hal ini termasuklah juga mengatur tertibnya berhubungan dengan kemerdekaan orang lain.
10. Pendidikan adalah usaha pembangunan, kata orang. Pendidikan yang dilakukan dengan keinsyafan, ditujukan ke arah keselamatan dan kebahagiaan manusia, tidak hanya bersifat kaku “pembangunan”, tetapi sering merupakan “perjungan” pula. Pendidikan berarti memelihara hidup timbul ke arah kemajuan, tidak boleh meanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajad kemanusiaan.
11. Di dalam hidupnya anak-anak ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan (tri pusat pendidikan) yang amat penting baginya, yaitu : alam-keluarga, alam-perguruan dan alam pergerakan pemuda (masyarakat).
12. Tri nga (ngrti, ngrasa, nglakoni atau mengerti, merasa, melakukan).
13. Tri pantangan (jangan menyalahgunakan kwewenang atau kekuasaan, jangan melakukan manipulasi dibidang keuangan, jangan melanggar kesusilaan).
14. “Amongsysteem” (Sistem Among) yaitu : menyokong kodrat alamnya anak-anak yang kita didik, agar dapat mengembangkan hidup lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri. Kata Among yang berasal dari bahasa jawa berarti seseorang yang tugasnya “ngemong” atau “momong” yang jiwanya penuh pengabdian. Sistem among ini merupakan sebuah system yang berjiwa kekeluargaan atau bersendikan dua dasar :
a. Kemerdeekaan, sebagai syarat untukmenghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak, sehingga dapat hidup merdeka (berdiri sendiri)
b. Kodrat alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.
Ki Hadjar Dewantara menjadikan “ Tutwuri Handayani” sebagai semboyan system among. Tutwuti Handayani, tidak lain berarti pengakuan terhadap otonomi individu untuk berkembang, namun tidak terlepas dari dialog atau interaksi dari manusia lain termasuk pendidik.
15. “Azas Tri-kon” yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu :
a. “Kontinuitet”, yang berarti bahwa gars hidup kita dijaman sekarang harus merupakan “ lanjutan, terusan” dari hidupkita di jaman yang silam, jangan “ulangan”, ataupun “tiruan’ hidup bangsa lain;
b. “Konvergensi”, dalam arti keharusan untuk menghindari “hidup menyendiri” (isolasi) dan untuk menuju kearah pertemuan dengan hidupnya bangsa-bangsa lain sedunia;
c. “konsentrisitet”, yang berarti bahwa sesudah kita “bersatu” dengan bangsa-bangsa lain sedunia, janganlah kita kehilangan “kepribadian” kita sendiri;
C. Karya-Karya Ki Hajar Dewantara
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967). Kepiawaian dalam menulis karena beliau sejak muda menjadi penulis dan wartawan.
Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku ini yakni ’’Pendidikan dan Pengajaran Nasional’’ yang disampaikan sebagai prasaran dalam Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 31 Agustus 1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan itu mengatakan bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri.
Buku Bagian II Kebudayaan terbagai dalam 5 bab: kebudayaan umum, kebudayaan dan pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat, hubungan dan penghargaan kita.
Dua buku itu adalah representasi pemikiran dan pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang menentukan kualitas manusia dan bangsa.
C. Pemikiran Tentang Pendidikan
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
D. Pengaruh Pemikirannya Dalam Pendidikan
Mendekati proses pendidikan dalam sebuah pemikiran cerdas untuk mendirikan sekolah taman siswanya, jauh sebelum Indonesia mengenal arti kemerdekaan. Konsepsi Taman Siswa pun coba dituangkan Ki Hajar Dewantara dalam solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan yang terjadi saat itu, sebagaimana digambarkan dalam asas dan dasar yang diterapkan Taman Siswa.
Orientasi Asas dan Dasar Pendidikan Dari Ki Hajar Dewantara diupayakan sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada waktu itu menjelaskan sifat pendidikan pada umumnya.
Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati.
Hak mengatur diri sendiri berdiri (Zelfbeschikkingsrecht) bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei). Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak yang disebut “among metode” (sistem-among) yang salah satu seginya ialah mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan memberi kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”.
Menyinggung masalah kepentingan sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan ke barat-baratan telah menimbulkan kekacauan. Menurut Ki Hajar Dewantara Sistem pengajaran yang terlampau memikirkan kecerdasan pikiran yang melanggar dasar-dasar kodrat yang terdapat dalam kebudayaan sendiri.
Sementara hal yang menyangkut tentang dasar kerakyatan untuk memepertinggi pengajaran yang dianggap perlu dengan memperluas pengajarannya. dan memiliki pokok asas untuk percaya kepada kekuatan sendiri.
Dalam dunia pendidikan mengharuskan adanya keikhlasan lahir-batin bagi guru-guru untuk mendekati anak didiknya. Sesungguhnya semua hal tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan barat yang mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan kemanusiaan.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati.
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967).
Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Ardhana, Wayan (1991). Kebijakan pemerintah dalam strategi pendidikan nasional. Makalah dalam Seminar Televisi Perididikan Indonesia di Surabaya, 23 Februari .
Tjaya, Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis, Jakarta,
Barnadib, Imam, 1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta.
-------------------
Ditulis Oleh: Tim I (PKS'10)
0 comments:
Posting Komentar