Klasifikasi Anak Berkelainan Fisik

A

nak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang memerlukan penanganan berbeda dengan anak pada umumnya. Salah satu kategori anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan fisik yaitu anak tuna netra, tuna rungu, dan tuna daksa.

TUNA NETRA

Pengertian Tuna Netra
Pengertian tuna netra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat (KBBI, 1989: 971) dan menurut literatur berbahasa Inggris visually handicapped atau visual impaired. Pada umumnya orang mengira bahwa tunanetra identik dengan buta, padahal tidaklah demikian karena tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan (Scholl, 1986 ). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta.
Dengan demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas.

Klasifikasi Tuna Netra
Klasifikasi yang dialami oleh anak tunanetra, antara lain :

Menurut Lowenfeld, (1955), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :
• Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
• Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
• Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
• Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
• Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
• Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)

Klasifikasi anak tuna netra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :
• Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
• Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
• Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.

Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan klinis, yaitu:
• Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
• Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.

Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
• Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan medik.
• Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.

Menurut Kirk (1962) mengutip klasifikasi ketunanetraan, yaitu :
• Anak yang buta total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000, ia tidak dapat melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
• Anak yang buta dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak dapat menghitung jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
• Anak yang masih dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-huruf besar seperti judul berita pada koran.
• Anak yang mampu membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk membaca huruf 14 point atau tipe yang lebih kecil.
• Anak yang memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih, akan tetapi ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca huruf 10 point.

Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu :
Kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :
• Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
• Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
• Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

TUNA RUNGU

Pengertian Tuna Rungu
Tuna Rungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga anak sehingga menyebabkan mereka mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya (suparno, 2007)
Heward & Orlansky menyatakan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang, dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan dalam dua golongan besar, yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan khusus (Informasi Pendidikan, 2006)

Klasifikasi Tuna Rungu

Berdasarkan Derajat Pendengaran
Menurut Dewey & Garisson (1985) tingkat kehilangan atau kekurangmampuan mendengar dibagi dalam klasifikasi :
    Klasifikasi Tuna Rungu
    Derajat Pendengaran
    Keterbatasan
    Sangat Ringan15 - 30 dB Kesulitan hanya pada pengucapan kata-kata sulit, selain itu hampir sama seperti orang normal, walaupun tetap perlu menggunakan alat bantu dengar
    Ringan30 - 45 dB Kesulitan mengikuti pembicaraan normal, tetapi dapat mengikuti bila suaranya cukup keras
    sedang45 – 60 dB Kesulitan hingga pada pembicaraan dengan suara keras; harus melihat gerak bibir pembicara; harus masuk sekolah khusus untuk memperbaiki pemahaman bahasa
    Berat60 – 90 dB Hanya bisa mendengar bila suara diperkeras dengan alat bantu pendengaran; harus masuk sekolah khusus untuk belajar bunyi, bahasa, bicara, dan ujaran
    Sangat BeratLebih dari 90 dB Tidak bisa mendengar walaupun dengan alat bantu dengar; harus masuk sekolah khusus untuk belajar membaca dan mengungkapkan ujaran, tetapi lebih mengkhususkan pada ketrampilan
Berdasarkan Tempat Terjadinya Kerusakan Organ Pendengaran
Kerusakan yang menyebabkan ketunarunguan dapat terjadi pada :
• Kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi- bunyian yang akan masuk ke dalam telinga, disebut tuli konduktif
• Kerusakan pada telinga bagian dalam dan hubungan ke saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris (Informasi Pendidikan, 2006)

Berdasarkan Saat Penyebab Terjadinya Ketunarunguan
• Dalam kandungan
Ketunarunguan disebabkan kelainan atau gangguan organ pendengaran sejak dalam kandungan akibat sewaktu ibu hamil menderita sakit atau upaya aborsi
• Saat bayi dilahirkan
Kesulitan waktu dilahirkan menyebabkan bayi kekurangan oksigen sehingga dapat merusak pusat pendengaran di otak atau organ pendengaran
• Sesudah anak dilahirkan
Ketunarunguan terjadi akibat berbagai penyakit berat maupun obat-obatan yang dikonsumsi sehingga menyebabkan kerusakan organ pendengaran (Hermono, n.d)

Berdasarkan Saat Terjadinya Ketunarunguan dalam Hubungannya dengan Perbendaharaan Bahasa
• Prelingual deafness
Merupakan kondisi seseorang dimana ketulian terjadi sebelum dimulainya perkembangan berbicara dan pengenalan bahasa
• Postlingual deafness
Merupakan kondisi dimana seseorang mengalami ketulian setelah menguasai wicara dan bahasa. Pada ketulian jenis ini, seseorang tidak dapat mendengar, tetapi dapat berbicara dengan baik (Hermono, n.d)

TUNA DAKSA

Pengertian Tuna Daksa
Tuna Daksa adalah kondisi seseorang yang mengalami kalainan fisik atau cacat tubuh, yang mencakup kalainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan gerak dan kelumpuhan, yang sering disebut sebagai cerebral palsy (Suparno, 2007).

Klasifikasi Tuna Daksa
Menurut tingkat kelainannya, anak-anak tuna daksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Kelainan Pada Sistem Cerebral / Cerebral Palsy
Cerebral Palsy adalah suatu kelainan gerak, postur, atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, dan kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada masa perkembangan otak.
Klasifikasi Cerebral Palsy :
1) Penggolongan menurut derajat kecacatan
• Golongan Ringan : Mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat bantu, mampu berbicara dan dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari
• Golongan Sedang : Mereka yang membutuhkan treatment atau latihan khusus untuk berbicara, berjalan dan mengurus dirinya sendiri
• Golongan Berat : Mereka yang tetap membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, berbicara, dan menolong dirinya sendiri.
2) Penggolongan menurut topografi (banyaknya anggota tubuh yang lumpuh)
• Monoplegia : hanya satu anggota gerak yang lumpuh
• Hemiplegia : lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan
• Paraplegia : lumpuh pada kedua tangan atau kedua kaki
• Triplegia : tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan keduan kakinya lumpuh
• Quadriplegia : kelumpuhan pada seluruh anggota gerak

2. Kelainan pada sistem otot dan rangka
• Poliomyelitis
Suatu infeksi penyakit pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio. Akibatnya berupa kelumpuhan yang sifatnya permanen. Kecerdasannya normal
• Muscle Dystrophy
Penyakit otot yang mengakibatkan otot tidak dapat berkembang. Kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua tangan atau kedua kaki
• Spina Bifida
Kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau tiga ruas tulang tulang belakang yang disebabkan oleh tidak tertutupnya kembali ruas tulang belakang selama proses perkembangan terjadi. Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan

Menurut faktor penyebabnya tuna daksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Cacat bawaan : sudah terjadi pada saat dalam kandungan atau saat anak dilahirkan
2. Infeksi : dapat menyebabkan kelainan pada anggota gerak atau bagian tubuh lainnya
3. Gangguan metabolisme : dapat terjadi pada bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor gizi, sehingga mempengaruhi perkembangan tubuh dan mengakibatkan kelainan pada sistem dan fungsi intelektual
4. Kecelakaan / trauma : dapat mengekibatkan kelainan ortopedis berupa kelainan koordinasi, mobilisasi dll


DAFTAR PUSTAKA

Aqila Smart. 2010. Anak Cacat Bukan Kiamat. Yogyakarta: Katahati
Geniofam. 2010. Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Garailmu
Suparno, dkk. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

0 comments:

Terima kasih Anda telah memberikan komentar,saran, dan kritik demi kemajuan blog ini :)

Posting Komentar